TAKE HOME
“Paper Manajemen Rantai Pasokan”
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Manajemen dan Bisnis”
Dosen
Pengampu : Dr. Siti Dyah Handayani, SE, MM
Disusun
Oleh :
RONNY
WIJAYA
20150410233
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2015
A.
PENDAHULUAN
Manajemen rantai pasok merupakan
integrasi aktivitas-aktivitas yang berawal dari pengadaan barang dan jasa,
mengubah bahan baku menjadi barang dalam proses dan barang jadi, serta
mengantarkan barang-barang tersebut kepada para pelanggannya dengan cara yang
efisien. Dalam definisi tersebut, secara umum pemahaman rantai pasok akan
mengandung makna terjadinya aliran material dari awal sampai ke konsumen dengan
memperhatikan faktor ketepatan waktu, biaya, dan jumlah produknya.
B. Latar Belakang Munculnya SCM
Munculnya SCM dilatar belakangi oleh 2 hal pokok, yaitu:
- Praktek manajemen logistik tradisional yang bersifat adversarial pada era modern ini sudah tidak relevan lagi, karena tidak dapat menciptakan keunggulan kompetitif
- Perubahan lingkungan bisnis yang semakin cepat dengan persaingan yang semakin ketat
Perkembangan lingkungan industri yang dinamis pada era
global seperti sekarang ini menjadi pemicu bagi banyak organisasi perusahaan
untuk menggali potensi yang dimiliki, serta mengidentifikasi faktor kunci
sukses untuk unggul dalam persaingan yang semakin kompetitif. Teknologi yang
juga berkembang pesat menjadi sebuah kekuatan untuk diterapkan dalam iklim
persaingan. Usaha-usaha yang dilakukan pada akhirnya diarahkan untuk memberikan
produk terbaik kepada konsumen.
Konteks produk yang ditawarkan perusahaan kepada konsumen
dalam pengertian manajemen produksi dan operasi adalah kombinasi produk barang
dan jasa. Industri manufaktur tidak akan dapat bersaing apabila produk yang
ditawarkan murni hanya barang, dan industri jasa juga tidak memiliki daya tarik
apabila yang ditawarkan kepada konsumen murni berupa layanan. Keberhasilan
perusahaan dalam memberikan produk terbaik kepada konsumen meliputi kombinasi
di antara keduanya, yaitu barang dan jasa dalam porsi masing-masing yang ideal
menurut perusahaan. Menyajikan produk dalam arti luas tersebut merupakan
tantangan sekaligus peluang bagi sistem produksi operasi yang harus dijalankan
perusahaan. Mulai dari mengidentifikasi selera konsumen sampai dengan
mengupayakan seluruh kebutuhan input dari pemasok untuk memproduksi dan
mendistribusikan produk tersebut sesuai dengan selera konsumen yang dibidik.
Pada dasarnya konsumen mengharapkan dapat memperoleh produk
yang memiliki manfaat pada tingkat harga yang dapat diterima. Untuk mewujudkan
keinginan konsumen tersebut maka setiap perusahaan berusaha secara optimal
untuk menggunakan seluruh asset dan kemampuan yang dimiliki untuk memberikan value
terhadap harapan konsumen. Implementasi upaya ini tentunya menimbulkan
konsekuensi biaya yang berbeda di setiap perusahaan termasuk para pesaingnya.
Untuk dapat menawarkan produk yang menarik dengan tingkat harga yang bersaing,
setiap perusahaan harus berusaha menekan atau mereduksi seluruh biaya tanpa
mengurangi kualitas produk maupun standar yang sudah ditetapkan.
Salah satu upaya untuk mereduksi biaya tersebut adalah
melalui optimalisasi distribusi material dari pemasok, aliran material dalam
proses produksi sampai dengan distribusi produk ke tangan konsumen. Distribusi
yang optimal dalam hal ini dapat dicapai melalui penerapan konsep Supply Chain
Management (SCM). SCM sesungguhnya bukan merupakan suatu konsep yang baru.
Menurut Jebarus (2001) SCM merupakan pengembangan lebih lanjut dari manajemen
distribusi produk untuk memenuhi permintaan konsumen. Konsep ini menekankan
pada pola terpadu yang menyangkut proses aliran produk dari supplier, manufaktur, retailer hingga
kepada konsumen. Dari sini aktivitas antara supplier hingga konsumen akhir
adalah dalam satu kesatuan tanpa sekat pembatas yang besar, sehingga mekanisme
informasi antara berbagai elemen tersebut berlangsung secara transparan. SCM
merupakan suatu konsep menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu
menggantikan pola-pola pendistribusian produk secara optimal. Pola baru ini
menyangkut aktivitas pendistribusian, jadual produksi, dan logistik
Sebuah SC akan memiliki komponen-komponen yang biasanya disebut
channel. Semua chanel bekerja untuk memenuhi
kebutuhan konsumen akhir.
Pada kenyataannya struktur SC jauh lebih kompleks dari
gambar 8.1. Berbagai kemungkinan di lapangan bisa terjadi, antara lain:
·
Sebuah pemasok mungkin sekaligus
adalah industri manufaktur, dengan kata lain sebuah SC bisa saja melibatkan
sejumlah industri manufaktur dalam satu rantai hulu ke hilir
·
SC tidak selalu merupakan rantai
lurus
·
Sebuah industri manufaktur bisa
memiliki ratusan bahkan ribuan pemasok
·
Produk-produk yang dihasilkan oleh
sebuah industri mungkin didistribusikan oleh beberapa pusat distribusi yang
melayani ratusan bahkan ribuan distributor, retailer, pedagang kecil, dan
sebagainya.
Setiap chanel dalam
SC akan memiliki aktivitas-aktivitas yang saling mendukung. Secara keseluruhan
aktivitas-aktivitas tersebut meliputi perancangan produk, pengadaan material,
produksi, pengendalian persediaan, distribusi/transportasi,
penyimpanan/pergudangan, dukungan pelayanan kepada pelanggan, proses
pembayaran, dan sebagainya. Pada tingkatan yang lebih strategis ada
aktivitas-aktivitas seperti pemilihan pemasok, penentuan lokasi pabrik, gudang,
pusat distribusi, dan sebagainya.
Praktek tradisional, semua aktivitas tersebut dilakukan
tanpa atau dengan sedikit koordinasi. Istilah cross fungsional team misalnya tidak banyak diaplikasikan dalam
manajemen SC tradisional. Pola hubungan manajemen logistik tradisional masih
bersifat adversarial, dalam arti pola hubungannya masih mementingkan
pihak-pihak secara individual tidak mengacu pada kinerja keseluruhan pihak yang
menjadi pembentuk sebuah SC, contohnya antara lain:
Hubungan antara pemasok dengan perusahaan yang disuplainya
hanya terbatas pada transaksi jual beli. Pola-pola negosiasi hanya mementingkan
pihak-pihak secara individual. Pemasok ingin secepatnya memindahkan atau
menjual produknya secepat dan sebanyak mungkin dengan harga yang tinggi,
sementara perusahaan yang disuplainya menginginkan harga yang murah dan
pengiriman yang cepat dan tepat.
C.
Perubahan
Lingkungan Bisnis
Lingkungan Bisnis senantiasa berubah dan perubahan tersebut
semakin lama semakin cepat. Akselerasi perubahan ini disebabkan berkembangnya
secara cepat faktor-faktor penting, antara lain:
a.
Tuntutan konsumen yang semakin
kritis. Konsumen menjadi semakin rumit dan terlalu banyak menuntut. Mereka
menuntut harga murah, mutu tinggi untuk setiap produk yang ditawarkan,
penyerahan tepat waktu, dan sesuai dengan selera mereka.
b.
Infrastruktur telekomunikasi,
informasi, transportasi, dan perbankan yang semakin canggih memungkinkan
berkembangnya model baru dalam aliran material/produk.
c.
Daur hidup produk. Daur hidup produk
sangat pendek seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
pasar.
d.
Kesadaran konsumen akan pentingnya
aspek sosial dan lingkungan dalam kehidupan, menuntut industri manufaktur
memasukkan konsep-konsep ramah lingkungan mulai dari proses perancangan produk,
proses produksi maupun proses distribusinya.
e.
Globalisasi dan perubahan peta
ekonomi dunia ke arah meningkatnya kemampuan ekonomi negara-negara dunia
ketiga, telah menciptakan banyak paradigma baru dalam dunia bisnis, dan salah
satu paradigma penting adalah meningkatnya persaingan antara produk jasa di
pasaran.
D.
Definisi
Supply Chain Management
Dengan latar belakang praktek manajemen logistik tradisional
dan perubahan lingkungan bisnis yang semakin cepat tersebut di atas, Supply
Chain Management (SCM) merupakan salah satu konsep dalam rangka merespon
persoalan tersebut.
Supply Chain Management
(SCM) menekankan pada pola terpadu menyangkut proses aliran produk dari
supplier, manufaktur, retailer hingga pada konsumen akhir. Dalam konsep SCM
ingin diperlihatkan bahwa rangkaian aktivitas antara supplier hingga konsumen
akhir adalah dalam satu kesatuan tanpa sekat yang besar. Mekanisme informasi
antara berbagai komponen tersebut berlangsung secara transparan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Supply Chain
Management (SCM) adalah suatu konsep yang menyangkut pola pendistribusian
produk yang mampu menggantikan pola-pola pendistribusian produk secara
tradisional. Pola baru ini menyangkut aktivitas pendistribusian, jadwal
produksi, dan logistik.
Ada pula yang mengatakan bahwa Supply Chain Management (SCM)
adalah suatu metode penciptaan produk untuk disampaikan pada pengguna akhir,
dimana di dalamnya tercakup berbagai komponen, yaitu: the supplier of raw
materials, the manufacturing units, warehouses, transporters, retailers, and
finally selling.
Dari 2 definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus
utama dari SCM adalah sinkronisasi proses untuk kepuasan pelanggan. Semua
supply chain pada hakekatnya memperebutkan pelanggan dari produk atau jasa yang
ditawarkan. Semua pihak yang berada dalam satu rantai supply chain harus
bekerja sama satu dengan lainnya semaksimal mungkin untuk meningkatkan
pelayanan dengan harga murah, berkualitas, dan tepat pengirimannya.
Persaingan dalam konteks SCM adalah persaingan antar rantai,
bukan antar individu perusahaan. Kelemahan praktek tradisional yang bersifat
adversarial adalah terfokusnya ukuran keberhasilan dan aktivitas pada
bagian-bagian kecil dari supply chain yang justru sering berlawanan dengan
tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan pada pelanggan atau konsumen akhir.
E.
Integrated Supply Chain
Semua perusahaan memerlukan sesuatu yang sangat ekonomis
guna melakukan kegiatan memproduksi untuk memperoleh keuntungan. Untuk mencapai
keinginan tersebut, kelancaran arus material yang diperlukan pasti melibatkan
lebih dari satu rantai pasokan. Faktor kritis dalam rantai pasokan yang efisien
adalah pembelian, karena tugas pembeliaan untuk menyeleksi pemasok (berikut
materialnya) dan kemudian membangun hubungan yang saling menguntungkan. Tanpa
pemasok yang baik dan tanpa pembelian yang memadai, rantai pasokan tidak akan memiliki
peran untuk kondisi pasar pada masa seperti sekarang ini.
SCM diperlukan oleh perusahaan yang sudah mengarah pada
pengelolaan dengan sistem just in time,
karena konsep just in time
sangat menekankan ketepatan waktu kedatangan material dari pemasok sampai ke
tangan konsumen sesuai dengan yang ditetapkan. Artinya, kedisiplinan dan
komitmen seluruh mata rantai harus benar-benar dilaksanakan, karena sistem just in time tidak menekankan pada
persediaan atau zero inventory.
Sehingga apabila terjadi penyimpangan pada salah satu mata rantai saja, maka
akan mengganggu pasokan material secara keseluruhan dan menghambat kelancaran
tugas dari mata rantai yang lain, karena tidak adanya persediaan. Untuk kondisi
di Indonesia sistem just in time
akan berhasil kalau mata rantai terkait berada dalam satu cluster.
Bagi perusahaan yang masih mementingkan persediaan karena
karakteristik material (misalnya faktor musiman) atau sebagai langkah
antisipatif untuk menyiasati lingkungan industri yang tidak stabil, SCM juga
diperlukan. Peran SCM untuk jenis perusahaan ini adalah menekan biaya
persediaan, karena persediaan yang tidak optimal akan menimbulkan dampak biaya
penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya backorder
(apabila terjadi stockout).
Baik perusahaan yang menerapkan sistem just in time maupun yang masih
mementingkan persediaan, SCM yang dilaksankan akan lebih optimal apabila
diterapkan secara terintegrasi oleh seluruh mata rantai pasokan yang terkait.
Menerapkan konsep SCM secara menyeluruh dan terintegrasi
tentu bukan merupakan hal yang mudah dilakukan perusahaan. Kesulitan akan
banyak dialami dalam kaitan dengan lingkungan eksternal yaitu hubungan dengan supplier
dan distributor serta konsumen akhir. Hal ini dapat terjadi karena lingkungan
eksternal relatif berada di luar kendali perusahaan, sehingga perlu upaya kedua
belah pihak untuk mencapai komitmen menjadi mata rantai yang saling
berkoordinasi untuk menyalurkan seluruh kebutuhan material sesuai yang
dibutuhkan.
Sekilas konsep SCM memiliki kesamaan dengan manajemen
logistik, karena keduanya mengelola arus barang dan jasa melalui pembelian,
pergerakan, penyimpanan, adminitrasi, dan penyaluran barang. Selain itu baik
SCM maupun manajemen logistik juga memiliki kesamaan dalam hal peningkatan
efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan barang. Perbedaan SCM dengan
manajemen logistik terletak pada orientasinya. SCM mengusahakan hubungan dan
koordinasi antar proses dari perusahaan-perusahaan lain dalam business
pipelines, mulai dari suppliers sampai kepada pelanggan juga
mengutamakan arus barang antar perusahaan, sejak paling hulu sampai paling
hilir. Sedangkan manajemen logistik berorientasi pada perencanaan dan kerangka
kerja yang menghasilkan rencana tunggal arus barang dan informasi di seluruh
perusahaan, jadi lebih terfokus pada pengelolaan termasuk arus barang dalam
perusahaan.
Dalam perkembangannya, SCM telah banyak mengalami evolusi
yang dapat digambarkan dalam 4 (empat) tahap sebagai berikut (Indrajit dkk,
2002):
a.
Tahap 1, dalam tahap 1 ada semacam
kesendirian dan ketidak-saling-tergantungan fungsi produksi dan fungsi
logistik. Mereka menjalankan program-program sendiri yang terlepas satu sama
lain (in-complete isolation). Contohnya adalah bagian produksi yang
hanya memikirkan bagaimana membuat barang sesuai dengan mutu dan yang telah
ditetapkan, dan sama sekali tidak mau ikut memikirkan penumpukan inventory dan
penggunaan ruang gudang yang menimbulkan biaya persediaan yaitu biaya simpan.
b.
Tahap 2, dalam tahap 2 perusahaan
sudah mulai menyadari pentingnya integrasi perencanaan walaupun dalam bidang
yang masih terbatas, yaitu di antara fungsi internal yang paling berdekatan,
misalnya produksi dengan inventory control dan functional integration
yang lain.
c.
Tahap 3, dalam tahap 3 integrasi
perencanaan dan pengawasan atas semua fungsi yang terkait dalam satu perusahan
(internal integration).
d.
Tahap 4, dalam tahap 4 menggambarkan
tahap sebenarnya dari suplly chain integration, yaitu integrasi total
dalam konsep perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan (manajemen) yang telah
dicapai dalam tahap 3 dan diteruskan ke upstreams yaitu suppliers dan downsterams
sampai ke pelanggan.
SCM yang telah
mencapai tahap keempat tersebut menunjukkan suatu integrasi yang menyeluruh di
antara seluruh komponen terkait sehingga menuntut adanya transparansi arus
informasi. Strategi kemitraan dapat digunakan untuk mewujudkan kelancaran arus
pasokan material dari pemasok sampai distributor hingga ke tangan konsumen.
Dengan startegi kemitraan maka perlu mengembangkan komunikasi di antara semua
pihak terkait, sehingga komunikasi arus informasi maupun data yang dibutuhkan
akan lebih lancar.
F.
Manfaat
SCM
Secara umum penerapan konsep SCM dalam perusahaan akan
memberikan manfaat yaitu (Jebarus, 2001) kepuasan pelanggan, meningkatkan
pendapatan, menurunnya biaya, pemanfaatan asset yang semakin tinggi,
peningkatan laba, dan perusahaan semakin besar.
- Kepuasan pelanggan. Konsumen atau pengguna produk merupakan target utama dari aktivitas proses produksi setiap produk yang dihasilkan perusahaan. Konsumen atau pengguna yang dimaksud dalam konteks ini tentunya konsumen yang setia dalam jangka waktu yang panjang. Untuk menjadikan konsumen setia, maka terlebih dahulu konsumen harus puas dengan pelayanan yang disampaikan oleh perusahaan.
- Meningkatkan pendapatan. Semakin banyak konsumen yang setia dan menjadi mitra perusahaan berarti akan turut pula meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga produk-produk yang dihasilkan perusahaan tidak akan 'terbuang' percuma, karena diminati konsumen.
- Menurunnya biaya. Pengintegrasian aliran produk dari perusahan kepada konsumen akhir berarti pula mengurangi biaya-biaya pada jalur distribusi.
- Pemanfaatan asset semakin tinggi. Aset terutama faktor manusia akan semakin terlatih dan terampil baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan. Tenaga manusia akan mampu memberdayakan penggunaan teknologi tinggi sebagaimana yang dituntut dalam pelaksanaan SCM.
- Peningkatan laba. Dengan semakin meningkatnya jumlah konsumen yang setia dan menjadi pengguna produk, pada gilirannya akan meningkatkan laba perusahaan.
- Perusahaan semakin besar. Perusahaan yang mendapat keuntungan dari segi proses distribusi produknya lambat laun akan menjadi besar, dan tumbuh lebih kuat.
Keenam manfaat yang sudah dijelaskan seperti tersebut di
atas merupakan manfaat tidak langsung. Secara umum, manfaat langsung dari
penerapan SCM bagi perusahaan adalah :
- SCM secara fisik dapat mengkonversi bahan baku menjadi produk jadi dan mengantarkannya kepada konsumen akhir. Manfaat ini menekankan pada fungsi produksi dan operasi dalam sebuah perusahaan. Dalam fungsi ini dilakukan penggunaan dari seluruh sumber daya yang dimilki dalam sebuah proses transformasi yang terkendali, untuk memberikan nilai pada produk yang dihasilkan sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan dan mendistribusikannya kepada konsumen yang dibidik.
- SCM berfungsi sebagai mediasi pasar, yaitu memastikan apa yang dipasok oleh rantai suplai mencerminkan aspirasi pelanggan atau konsumen akhir tersebut. Dalam hal ini fungsi pemasaran yang akan berperan. Melalui pelaksanaan SCM, pemasaran dapat mengidentifikasi produk dengan karakteristik yang diminati konsumen. Selanjutnya fungsi ini harus mampu mengidentifikasi seluruh atribut produk yang diharapkan konsumen tersebut dan mengkomunikasikan kepada perancang produk. Apabila seleksi rancangan produk sudah dilakukan dan dilakukan pengujian maka produk dapat diproduksi. Sehingga SCM akan berperan dalam memberikan manfaat seperti point 1 tersebut.
Ditinjau
dari segi ongkos, masing-masing fungsi di atas berkaitan dengan ongkos, yaitu:
- Fungsi pertama berkaitan dengan ongkos-ongkos fisik, yakni ongkos material, ongkos penyimpanan, ongkos produksi, ongkos transportasi, dan sebagainya.
- Fungsi kedua berkaitan dengan biaya-biaya survey pasar, perancangan produk, serta biaya-biaya akibat terpenuhinya aspirasi konsumen oleh produk yang disediakan oleh rantai supply chain. Ongkos-ongkos ini bisa berupa ongkos markdown, yakni penurunan harga produk yang tidak laku dengan harga normal, atau ongkos kekurangan supply yang dinamakan dengan stockout cost.
G. Prinsip-prinsip SCM
Prinsip terpenting yang harus diperhatikan dalam
sinkronisasi aktivitas-aktivitas sebuah supply chain adalah menciptakan hasil
yang lebih besar, tidak hanya bagi tiap anggota rantai tetapi bagi keseluruhan
sistem. Kesuksesan implementasi dari prinsip ini membutuhkan
perubahan-perubahan pada tingkatan strategis maupun taktis. Sebaliknya
kegagalan biasanya ditandai oleh ketidakmampuan manajemen mendefinisikan
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menggiring komponen-komponen supply
chain yang kompleks ke arah yang sama.
Anderson, Britt & Frave (1997) memberikan 7 prinsip SCM
untuk membantu para manajer dalam merumuskan strategi pelaksanaan SCM, yaitu:
a.
Segmentasi pelanggan berdasarkan
kebutuhannya.
b.
Sesuaikan jaringan logistik untuk
melayani kebutuhan pelanggan yang berbeda.
c.
Dengarkan signal pasar dan jadikan
signal tersebut sebagai dasar dalam perencanaan kebutuhan (demand planning)
sehingga bisa menghasilkan ramalan yang konsisten dan alokasi sumber daya yang
optimal.
d.
Diferensiasi produk pada titik yang
lebih dekat dengan konsumen dan percepat konversinya di sepanjang rantai
supply.
e.
Kelola sumber-sumber supply secara
strategis untuk mengurangi ongkos kepemilikan dari material maupun jasa.
f.
Kembangkan strategi teknologi untuk
keseluruhan rantai supply yang mendukung pengambilan keputusan berhirarki serta
berikan gambaran yang jelas dari aliran produk, jasa, maupun informasi.
g.
Adopsi pengukuran kinerja untuk
sebuah supply chain secara keseluruhan dengan maksud untuk meningkatkan
pelayanan kepada konsumen akhir.
H. Persyaratan Penerapan SCM
Sebagai suatu konsep yang melibatkan banyak pihak sebagai
mata rantai, SCM menuntut beberapa persyaratan yang tidak hanya terkait dengan
material, tetapi juga informasi. Syarat utama dari penerapan SCM tentunya
dukungan manajemen. Manajemen semua level dari strategis sampai operasional
harus memberikan dukungan mulai dari proses perencanaan, pengorganisasian,
koordinasi, pelaksanaan, sampai pengendalian.
Selain dukungan manajemen, syarat lain merupakan syarat yang
melibatkan faktor eksternal yaitu pemasok dan distributor. Sebelum membangun
komitmen dan melaksanakan 'kontrak kerja' dengan para pemasok, maka perusahaan
terlebih dahulu harus melaksanakan evaluasi pemasok. Sebagi catatan,
melaksanakan evaluasi pemasok untuk pemasok yang 'bermain' dalam pasar yang
monopoli tentunya sulit dan tidak bisa dilaksanakan, sehingga yang perlu
dilakukan untuk kondisi ini adalah membangun kemitraan dalam suatu kesepakatan.
Evaluasi pemasok dilakukan apabila untuk material yang sama
dapat diperoleh lebih dari satu alternatif pemasok. Setidaknya ada tiga
kriteria dalam melakukan evaluasi pemasok, yaitu: keadaan umum pemasok, keadaan
pelayanan, dan keadaan material. Beberapa contoh indikator dari setiap kriteria
evaluasi pemasok adalah sebagai berikut (Gaspersz, 2002):
a.
Keadaan umum pemasok
i.
Ukuran atau kapasitas produksi
ii.
Kondisi finansial
iii.
Kondisi operasional
iv.
Fasilitas riset dan desain
v.
Lokasi geografis
vi.
Hubungan dagang antar industri
b.
Keadaan pelayanan
i.
Waktu penyerahan material
ii.
Kondisi kedatangan material
iii.
Kuantitas pemesanan yang ditolak
iv.
Penanganan keluhan dari pembeli
v.
Bantuan teknik yang diberikan
vi.
Informasi harga yang diberikan
c.
Keadaan material
i.
Kualitas material
ii.
Keseragaman material
iii.
Jaminan dari pemasok
iv.
Keadaan pengepakan (pembungkusan)
Dari ketiga kriteria tersebut, bobot (berdasarkan tingkat
kepentingan) yang terbesar diberikan pada kriteria keadaan material, karena
keadaan material akan mempengaruhi kinerja fungsi produksi dan operasi
khususnya kualitas produk. Selanjutnya dilakukan penilaian untuk setiap
indikator dan dihitung total skor-nya.
Syarat berikutnya adalah pemilihan distributor sebagai
perantara produk perusahaan sampai ke tangan konsumen akhir. Intensitas saluran
distribusi yang ideal bagi suatu perusahaan adalah bagaimana menyajikan jenis
produk secara luas dalam pemuasan kebutuhan konsumen (Sitaniapessy, 2001).
Penggunaan distributor yang terlalu sedkit dapat membatasi penyebaran jenis
produk dalam aktivitas pemasaran. Sebaliknya, penggunaan distributor yang
terlalu banyak dapat mengganggu brand image dalam posisinya
berkompetisi. Satu kunci yang penting dalam mengelola saluran distribusi adalah
menentukan berapa banyak saluran distribusi yang dikembangkan serta membentuk
suatu pola kemitraan yang menunjang pemasaran suatu produk dalam area pemasaran
tertentu.
Satu lagi persyaratan yang penting dalam penerapan SCM
adalah transparansi arus informasi. Untuk dapt mendukung arus informasi yang
transparan dari seluruh mata rantai yang terlibat dalam SCM diperlukan komitmen
(dapat dicapai melalui kemitraan dan kesepakatan) disertai dengan ketersediaan
database.
Konsep database yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya
kumpulan data yang dikelola dan dikendalikan secara terpusat, melainkan data
tersebut harus memenuhi lima kriteria sebagai berikut :
1.
Ketersediaan, kapanpun diperlukan
harus tersedia disertai dengan kemudahan akses.
2.
Kemampuan dipergunakan untuk berbagi
kebutuhan terkait
3.
Kemampuan data untuk selalu
berkembang dalam konteks yang efektif
4.
Jumlah data tidak tergantung kondisi
fisik penyimpan data (penyimpan data yang harus menyesuaikan jumlah data)
5.
Konsistensi dan validitas data
I.
Strategi
Dasar SCM
Strategi yang paling mendasar dalam SCM berkaitan erat
dengan konfigurasi fisik maupun manajemennya. Dalam rancangan struktur supply chain, mulai dari konfigurasi
jaringan antar chanel sampai
pada konfigurasi fasilitas di dalam sebuah chanel tidak bisa dilepaskan dari karakteristik produk maupun
jasa yang dihasilkan oleh sebuah supply
chain.
Dalam SCM karakteristik produk ini dibedakan ke dalam 2
jenis yang didasarkan pada berbagai aspek antara lain, siklus hidupnya, jumlah
variasinya, stabilitas permintaannya, kesalahan ramalan, tingkat markdown, dan sebagainya. Kedua jenis
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Produk fungsional, biasanya diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti garam, gula, sabun, minyak
goreng, buku tulis, ballpoint, dan sebagainya.
b.
Produk inovatif, yaitu produk yang
permintaannya biasanya sangat tidak stabil dan sulit diramalkan. Produk
inovatif ini biasanya muncul sebagai respon atas perubahan pasar yang cepat
atau sebagai akibat dari kemampuan teknologi dan inovasi yang bagus. Contoh
dari produk inovatif ini adalah komputer yang perubahan rancangannya sudah
dalam hitungan minggu atau bahkan hari. Ini merupakan contoh produk inovatif
yang dipacu oleh kemampuan perusahaan melakukan inovasi (innovation driven).
Contoh lain adalah pakaian yang modelnya cepat berubah dan ini lebih dipacu
oleh kebutuhan pasar yang mengisyaratkan perubahan model (market driven).
Untuk lebih jelasnya pembagian produk sesuai dengan
karakteristiknya dapat dilihat pada tabel 8.1.
Karakteristik
|
Fungsional
|
Inovatif
|
Siklus hidup
|
>
2 tahun
|
<
2 tahun
|
Variasi produk
|
10
– 20 per kategori
|
Jutaan
per kategori
|
Variabilitas permintaan
|
tinggi
|
rendah
|
Kesalahan peramalan
|
10
%
|
40
% - 100 %
|
Tingkat markdown
|
0
%
|
10
% - 25 %
|
Margin keuntungan
|
Rendah
|
Tinggi
|
Lead time
|
6
bln – 1 thn
|
1
hari – 2 minggu
|
Aspirasi konsumen
|
Harga
murah
|
cepat
|
Tabel
8.1. Produk fungsional vs invovatif
Pernyataan
kedua produk berdasarkan karakteristik di atas mengindikasikan kebutuhan akan
penanganan yang berbeda, baik dalam aktivitas fisik maupun dalam mediasi pasar
sebuah supply chain sehingga diperlukan strategi yang tepat untuk masing-masing
produk, seperti ditunjukkan pada tabel 8.2.
Strategi
|
Produk
|
|
Fungsional
|
Inovatif
|
|
Lean
|
Tepat
|
Tidak
tepat
|
Agile
|
Tidak
tepat
|
Tepat
|
Tabel 8.2. Strategi yang tepat berdasarkan jenis produk
Strategi Lean Supply Chain adalah strategi efisiensi yang
membutuhkan dukungan struktur supply chain yang ramping dan terintegrasi dengan
baik. Pada produk fungsional, fungsi mediasi pasar lebih jarang dan lebih mudah
dilakukan karena siklus hidup produknya panjang atau selera konsumen yang tidak
banyak berubah. Dengan demikian ongkos-ongkos mediasi pasar akan merupakan
fokus utama, sehingga strategi yang tepat untuk produk-produk fungsional adalah
efisiensi.
Fokus utama dalam mengelola Lean Supply Chain adalah menekan
ongkos-ongkos fisik disepanjang supply chain yang terdiri dari ongkos-ongkos
material, produksi, distribusi, penyimpanan dan sebagainya. Dalam lean supply
chain koordinasi yang baik antar chanel dalam rantai supply sangat diperlukan,
termasuk di dalamnya koordinasi untuk manangani dampak variabilitas dan
ketidakpastian permintaan maupun supply.
Untuk produk inovatif, keunggulan kompetitif produk terletak
pada kemampuan supply chain untuk merespon kebutuhan pasar yang cepat berubah.
Kunci keberhasilan di sini adalah yang dinamakan agility. Agility untuk suatu
supply chain harus mempunyai kemampuan kecepatan dalam merespon kebutuhan pasar
secara bersama-sama sebagai suatu team. Kecepatan ini harus dimiliki semua
pihak yang berada dalam suatu supply chain.
Distributor yang handal tidak dapat menjamin keunggulan
berkompetisi apabila perusahaan yang mensuplai produk-produk yang
didistribusikannya tidak mampu secara cepat merespon perubahan yang disyaratkan
oleh pasar. Dengan demikian hubungan antar perusahaan merupakan faktor kritis
dalam menciptakan agility suatu supply chain. Strategi supply chain yang
menekankan pada agility tentunya memerlukan pola pikir yang berbeda dengan pola
pikir untuk strategi supply chain yang mendasarkan pada efisiensi.
J.
Tantangan
Penerapan SCM
Meskipun SCM memiliki banyak manfaat dalam menjalankan
sistem produksi dan operasi di perusahaan, tetapi ada beberapa tantangan yang
harus dihadapi dan disikapi oleh perusahaan apabila akan menerapkannya.
Tantangan yang pertama berasal dari lingkungan makro dan juga lingkungan
eksternal. Misalnya saja trend perekonomian global yang menunjukkan adanya
kecenderungan inflasi, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
persaingan di tingkat global memang sangat meningkat. Selain itu juga
kecenderungan perilaku konsumen yang menunjukkan sikap terlalu rumit dan banyak
menuntut. Faktor eksternal lain adalah perkembangan teknologi. Perkembangan
teknologi yang terkait dengan teknologi informasi sedapat mungkin diadaptasi
oleh perusahaan-perusahaan yang menerapkan SCM sehingga dapat mengelola
informasi yang bergerak sangat cepat untuk menanggapi perpindahan produk.
Sehingga sangat perlu bagi perusahaan yang menerapkan SCM untuk memiliki
peralatan fungsional seperti (Watanabe, 2001):
a.
Demand
management / forecasting
b.
Advanced
planning and scheduling
c.
Transportation management
d.
Distribution and deployment
e.
Production
planning
f.
Available
to promise
g.
Supply Chain Modeler
h.
Optimizer (Linier
programming, non linier programming, heuristic, dan genetic algorithm)
Selain tantangan-tantangan
tersebut, tantangan yang juga sering dihadapi khususnyanegara berkembang adalah
masalah infrastruktur
termasuk birokrasi yang rumit. Masalah ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap tantangan SCM yang lain, yaitu teknologi informasi.
termasuk birokrasi yang rumit. Masalah ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap tantangan SCM yang lain, yaitu teknologi informasi.
Di
sisi lain, ada juga tantangan yang dapat digolongkan dalam lingkungan mikro
atau di lingkungan perusahaan itu termasuk stakeholdernya. Mengingat
sebuah rantai supply chain terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan, maka pengelolaannya tidak mudah. Kompleksitas permasalahan
meningkat dengan cepat begitu pertimbangan-pertimbangan aliran produk dan
informasi dilihat dalam lingkungan keseluruhan supply chain dari ujung hulu ke
ujung hilir. Karena kompleksnya permasalahan pengelolaan tersebut, banyak
sekali tantangan yang bisa mengakibatkan kegagalan pengelolaan sebuah supply
chain.
Lee
& Bilington (1992) mendeskripsikan 14 tantangan yang harus diperhatikan dalam
SCM, yaitu:
a)
Pengukuran kinerja yang tidak
terdefinisikan dengan baik, setiap chanel menentukan ukuran sendiri-sendiri,
dan tidak ada perhatian untuk membuat 'joint matrics' yang mengukur
kinerja rantai secara keseluruhan.
b)
Customer
service tidak didefinisikan dengan jelas,
tidak ada pengukuran terhadap kelambatan respon dalam pelayanan, dan
sebagainya.
c)
Status data pengiriman yang tidak
akurat dan sering terlambat.
d)
Sistem informasi tidak efisien.
e)
Dampak ketidakpastian diabaikan.
f)
Kebijakan inventori terlalu
sederhana, faktor-faktor ketidakpastian tidak diperhitungkan dalam pembuatan
kebijakan-kebijakan tersebut, kadang-kadang terlalu statis dan generik.
g)
Diskriminasi terhadap internal
customer. Prioritasnya rendah, service levelnya tidak terukur, sistem
insentifnya tidak tepat.
h)
Koordinasi antar aktivitas suplai,
produksi, dan pengiriman tidak bagus.
i)
Analisis metode-metode pengiriman
tidak lengkap, tidak ada pertimbangan efek persediaan dan waktu respon.
j)
Definisi ongkos-ongkos persediaan
tidak tepat.
k)
Ada kendala komunikasi antar
organisasi.
l)
Perancangan produk maupun proses
tidak memperhitungkan konsep supply chain.
m)
Perancangan dan operasional supply
chain dibuat secara terpisah.
n)
Supply chain tidak lengkap, fokusnya
sering hanya pada operasi internal saja, tidak bisa membedakan antara 'immediate
customers' dengan 'end customers'.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, terlebih dahulu
perusahaan harus melakukan perbaikan dan membangun komitmen di lingkungan
internal perusahaan tersebut, baru kemudian membangun kemitraan dan komitmen
dengan mata rantai lain di lingkungan eksternal. Satu hal yang juga penting
dalam mengatasi tantangan untuk penerapan SCM adalah mengelola informasi dalam
sebuah sistem yang harus mendukung proses pengambilan keputusan di wilayah
penerapan SCM.
K. Perkembangan-perkembangan Terbaru
dalam SCM
Agar perusahaan selalu dapat memimpin dalam berkompetisi di
pasaran, cara-cara baru yang lebih inovatif perlu ditemukan atau dikembangkan.
Seiring dengan menyebarnya konsep-konsep SCM di dunia industri baik industri
manufaktur atau jasa. Konsep-konsep yang lebih canggih yang merupakan
pengembangan dari SCM bermunculan. Konsep-konsep tersebut antara lain:
a.
Just In
Time (JIT), prinsip ini menekankan pada
kemitraan yang erat antara perusahaan dengan pemasoknya, dan pemasok akan
memiliki wakil di perusahaan yang disuplainya. Wakil tersebut berfungsi
menggantikan peran bagian pembelian di perusahaan pembeli. Atas nama perusahaan
pembeli, wakil tersebut akan membuat order pembelian ke perusahaannya berdasarkan
rencana produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan pembeli. Praktek ini
memungkinkan kedua belah pihak untuk merundingkan rencana-rencana produksi
maupun pembelian sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Perusahaan pembeli
akan lebih mudah menegosiasikan jadwal pengiriman karena wakil tadi
sewaktu-waktu bisa ditemui di perusahaannya. Demikian pula wakil tadi akan
lebih banyak memberikan masukan tentang kemampuan perusahaannya untuk memasok
kebutuhan material atau bahan baku yang dibutuhkan perusahaan pembeli.
b.
Vendor
Managed Inventory (VMI), adalah merupakan salah satu
variasi dari JIT II. Konsep ini banyak digunakan oleh para pemasok yang
mensuplai bisnis retail. Selama ini pihak retail yang berkewajiban membuat
order pembelian untuk menjaga kelangsungan persediaan dari setiap item yang
terjual. Pada VMI kebalikannya, justru pemasoklah yang berkewajiban untuk
menentukan kapan dan berapa jumlah suatu item harus dikirim ke retailnya,
berdasarkan informasi tingkat penjualan dan ketersediaan stock yang ada
di retail tersebut. Pada VMI pertukaran informasi yang lancar sangat
diperlukan. Pemasok akan mampu membuat keputusan yang baik, apabila informasi
tingkat kebutuhan maupun tingkat persediaan yang dimiliki pihak retail bisa
diakses dengan mudah.
c.
Global
Pipeline Management (GPM), konsep ini didasarkan pada
teori kontrol di mana aliran material atau produk akan optimal bila dikontrol
dari satu titik. Aliran material atau produk pada konsep GPM hendaknya
dikendalikan oleh satu pihak atau chanel dalam supply chain, yang lain
mengikuti dan mendukung dengan memberikan informasi yang diperlukan.
L.
Rangkuman
a.
Supply
Chain Management (SCM) adalah suatu konsep yang
menyangkut pola pendistribusian produk yang mampu menggantikan pola-pola
pendistribusian produk secara tradisional. Pola baru ini menyangkut aktivitas
pendistribusian, jadwal produksi, dan logistik.
b.
Supply
Chain Management (SCM) adalah suatu metode
penciptaan produk untuk disampaikan pada pengguna akhir, dimana di dalamnya
tercakup berbagai komponen, yaitu: the supplier of raw materials, the
manufacturing units, warehouses, transporters, retailers, and finally selling.
c.
Manfaat penerapan konsep SCM dalam
perusahaan yaitu: kepuasan pelanggan, meningkatkan pendapatan, menurunnya
biaya, pemanfaatan asset yang semakin tinggi, peningkatan laba, dan perusahaan
semakin besar.
d.
Strategi yang paling mendasar dalam
SCM berkaitan erat dengan konfigurasi fisik maupun manajemennya. Dalam
rancangan struktur supply chain, mulai dari konfigurasi jaringan antar chanel
sampai pada konfigurasi fasilitas di dalam sebuah chanel tidak bisa
dilepaskan dari karakteristik produk maupun jasa yang dihasilkan oleh sebuah supply
chain.
e.
SCM membedakan karakteristik produk
ke dalam 2 jenis yang didasarkan pada berbagai aspek antara lain, siklus
hidupnya, jumlah variasinya, stabilitas permintaannya, kesalahan ramalan,
tingkat markdown, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar